Investigasi: Jejak Gelap Pupuk Kimia dan Gerakan Biosaka yang Menghidupkan Pertanian Organik

- Penulis

Senin, 8 September 2025 - 15:10 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta, alamorganik.com – Hamparan sawah yang menghijau di Indonesia menyimpan paradoks serius: pupuk kimia yang dijadikan andalan panen justru melemahkan tanah dan menjerat petani dalam ketergantungan.

Investigasi albrita.com mengungkap bagaimana dominasi pupuk kimia menempatkan pertanian nasional di ambang kehancuran—sekaligus muncul harapan baru lewat gerakan mandiri bernama Biosaka yang digagas petani bernama Muhammad Ansar.

Di Padang Pariaman, petani seperti Harun (47) menyuarakan dilemanya:  “Kalau tidak pakai urea, hasil turun. Sementara pupuk organik butuh waktu lama.” akuinya.

Hal ini mencerminkan realita nasional: pupuk kimia memberi hasil instan namun merusak—tanah mengeras, mikroba berkurang, dan setiap panen butuh dosis lebih tinggi.

Data Kementerian Pertanian 2024 mencatat konsumsi pupuk kimia Indonesia mencapai 9 juta ton per tahun, sedangkan pupuk organik baru sekitar 1,2 juta ton— mayoritas diproduksi kelompok tani kecil.

Di wilayah pesisir terjadi ledakan alga akibat limpasan nitrogen, sementara di Lamongan tanah sawah yang rutin diberi urea kini kehilangan keseimbangan pH.

“Kalau dulu tanah gembur, sekarang keras. Cacing tanah sudah jarang kelihatan,” keluh Suriyadi.

Para ekolog memperingatkan: pola ini bisa mengakibatkan hilangnya kesuburan lahan secara permanen.

Baca Juga :  Petani Rantau Rasau Buktikan Manfaat N Level 1, Alternatif Pembenah Tanah yang Ramah Lingkungan

“Kita sedang menggali kubur pertanian sendiri,” tegas Dr. Lestari, peneliti tanah.

Sementara masih bergantung pupuk kimia, Indonesia tertinggal dalam tren global yang semakin mengutamakan produk organik.

“Pembeli dari Jerman hanya mau kopi organik. Kalau pakai pupuk kimia, harga jatuh separuh,” ungkap Firman, eksportir kopi Sumatera Utara.

Kesenjangan antara praktik lokal dan tuntutan internasional menjadi tekanan serius bagi ketahanan pertanian nasional.

Di tengah krisis ini, muncul alternatif: Biosaka larutan alami berbasis rerumputan, digagas oleh Muhammad Ansar dari Blitar—seorang petani yang meriset sejak 2006 dan mulai menyosialisasikan luas sejak 2011.

Biosaka bukan pupuk, melainkan elisitor—memicu respons alami tanaman. Tanah lebih subur dan biaya produksi jauh lebih murah. Ansar menegaskan: “Biosaka bukan sekadar teknik, tapi gerakan moral menyelamatkan alam.”

Hingga kini, adopsi Biosaka telah mencapai lebih dari 17 kecamatan di Magelang utamanya untuk padi dan bahkan kobis di Hortikultura, dengan hasil panen lebih besar dan hemat biaya hingga 80 %.

Bahkan di Bantul, Yogyakarta, ada rekor MURI dalam acara massal pembuatan Biosaka oleh lebih dari 1.000 peserta yang juga diaplikasikan di lahan seluas 400 hektar, menghasilkan gabah kering rata-rata. 10,42 ton per hektar.

Baca Juga :  The Latest News in R&B Music: A Look at Super Bowl Performances, New Albums, Rising Stars, and Tribute to Aaliyah

Menurut Kementan, aplikasi Biosaka di Blitar pada luas 57 ha mampu menghasilkan gabah kering. 8,9 ton/ha, sekaligus mengurangi kebutuhan pupuk kimia hingga. 50-90 %.

Sebaliknya, kebijakan nasional masih berpihak pada pupuk kimia. Pada 2024, subsidi untuk pupuk kimia mencapai lebih dari. Rp26 triliun. Sementara dukungan untuk pupuk organik dan inisiatif seperti Biosaka masih minim.

“Selama subsidi hanya untuk pupuk kimia, petani tidak punya pilihan lain,” kritik pegiat LSM lingkungan.

Kementan menargetkan peningkatan penggunaan pupuk organik hingga 25 % di 2025, namun tanpa sistem insentif dan regulasi kuat, target itu rentan menjadi sekadar retorika.

Investigasi ini memotret dua wajah pertanian Indonesia: satu merosot karena pupuk kimia, satu lagi tumbuh karena kesederhanaan Biosaka.

Ketika pasar global menuntut produk ramah lingkungan, jalan menuju pertanian organik adalah keharusan, bukan pilihan.

Inovasi lokal seperti Biosaka bisa menyelamatkan masa depan pangan, jika mendapat dukungan serius dari pemerintah dan petani.

Apakah Indonesia siap berubah, atau tetap terperangkap dalam kenikmatan sesaat yang menghancurkan masa depan? (Mardizal)

Berita Terkait

Petani Rantau Rasau Buktikan Manfaat N Level 1, Alternatif Pembenah Tanah yang Ramah Lingkungan
Petani Pati Tunjukkan Cara Mudah Membuat Pupuk dari Rumput untuk Budidaya Semangka dan Cabai
Petani di Bandung Barat Buktikan Manfaat Biosaka dan POC untuk Padi
64 Peserta dari Berbagai Profesi Ikuti Pelatihan Biosaka di Pati
Indonesia, Pengguna Pestisida Terbesar ke-3 Dunia, Biosaka Tawarkan Jalan Keluar
Biosaka Gratis Tapi Ditakuti
Beras Organik Biosaka Migunani Suplai MBG
Parfum Urine Pas Pengganti Pestisida Kimia: Hama Penghisap Kabur–Termasuk Tikus, Begini Cara Buatnya…
Berita ini 76 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 10 September 2025 - 15:12 WIB

Petani Rantau Rasau Buktikan Manfaat N Level 1, Alternatif Pembenah Tanah yang Ramah Lingkungan

Selasa, 9 September 2025 - 09:44 WIB

Petani Pati Tunjukkan Cara Mudah Membuat Pupuk dari Rumput untuk Budidaya Semangka dan Cabai

Senin, 8 September 2025 - 21:12 WIB

Petani di Bandung Barat Buktikan Manfaat Biosaka dan POC untuk Padi

Senin, 8 September 2025 - 15:10 WIB

Investigasi: Jejak Gelap Pupuk Kimia dan Gerakan Biosaka yang Menghidupkan Pertanian Organik

Sabtu, 6 September 2025 - 10:55 WIB

Indonesia, Pengguna Pestisida Terbesar ke-3 Dunia, Biosaka Tawarkan Jalan Keluar

Berita Terbaru

Pohon PIsang diserang penyakit.

Penyakit Tanaman

Petani Resah, Penyakit Pisang Merebak dan Ancam Panen

Rabu, 10 Sep 2025 - 20:09 WIB