PATI, alamorganik.com – Siapa sangka, rumput liar yang biasanya dianggap pengganggu ternyata bisa disulap menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman. Itulah yang dipraktikkan Suharno, petani asal Desa Slungkep, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati.
Caranya pun sederhana. Rumput dicabut, kemudian dimasukkan ke dalam kolam atau wadah berisi air. Setelah dibiarkan 3–5 hari, cairan hasil perendaman itu bisa langsung digunakan sebagai pupuk organik cair (POC) dengan cara dikocorkan ke tanaman.
“Semudah ini membuat pupuk, tidak perlu biaya besar. Rumput yang biasanya dibuang bisa bermanfaat untuk menyuburkan tanaman,” kata nya.
Inovasi Suharno dalam mengelola pupuk alami menarik perhatian banyak pihak. Pada 6 September lalu, ia kedatangan tamu istimewa: Kepala Desa Grenggeng, Kebumen, Eri, bersama sejumlah anggota kelompok tani (poktan).
Mereka datang untuk melihat langsung cara budidaya semangka dan cabai yang digarap Suharno dengan memadukan berbagai teknologi organik.
Selain pupuk dari rumput, ia juga menggunakan POC urine N1, Biosaka, dan bahkan “parfum urine” yang berfungsi untuk mengusir hama. Hasilnya terlihat nyata: semangka yang ditanam di lahan 3.000 meter persegi kini sudah berbuah, bahkan ada yang mencapai bobot satu kilogram meski cuaca belakangan ini cukup ekstrem.
Hal menarik lain dari metode Suharno adalah ia tidak membasmi rumput di sekitar tanaman semangka. Menurutnya, rumput justru membantu menjaga kelembapan tanah, terutama di musim panas yang kering.
“Rumput dibiarkan saja, tidak ada persaingan dengan semangka. Semua bisa harmonis kalau kita rawat dengan cara yang benar,” ujarnya.
Kunci dari keharmonisan itu, lanjut Suharno, adalah penggunaan Biosaka. Cairan alami ini bekerja bukan sebagai pupuk, melainkan mengaktifkan metabolisme tanaman sekaligus menyeimbangkan ekosistem lahan.
“Dengan Biosaka, tanaman jadi lebih tahan, tanah tetap sehat, dan rumput tidak mengganggu. Semua berjalan selaras,” tambahnya.
Menariknya, dalam budidaya semangka kali ini Suharno hanya menggunakan 1 kilogram pupuk kimia sebagai starter di awal tanam. Selebihnya, ia sepenuhnya mengandalkan teknologi organik berbasis Ilmu SAKA.
Hasil yang diperoleh cukup meyakinkan. Tanaman tumbuh subur, berbuah lebat, dan relatif tahan terhadap gangguan hama maupun perubahan cuaca. Selain itu, biaya produksi jauh lebih hemat karena tidak bergantung pada pupuk kimia yang harganya terus melonjak.
Kedatangan kelompok tani dari Kebumen semakin menguatkan keyakinan bahwa metode ini bisa menjadi inspirasi bagi petani lain. Dengan memanfaatkan bahan sederhana yang ada di sekitar, petani tidak hanya bisa menghemat biaya, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.
“Kalau kita bisa hasilkan semangka dan cabai sehat tanpa boros pupuk kimia, kenapa tidak dicoba? Teknologi SAKA memberi jalan untuk bertani yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan,” pungkas Suharno.(ati)