Jambi, alamorganik.com – Perjuangan petani dalam menjaga kesuburan lahan sekaligus menekan biaya produksi kerap menjadi cerita panjang yang penuh tantangan. Selama bertahun-tahun, petani di berbagai daerah terbiasa menggunakan dolomit dalam jumlah besar untuk menetralkan keasaman tanah. Namun kini, sejumlah petani mulai beralih pada cara yang lebih sederhana, murah, dan efektif, yaitu menggunakan larutan NLevel1 sebagai pembenah tanah sekaligus pupuk pendukung pertumbuhan tanaman.
Seorang petani di Kecamatan Rantau Rasau, Jambi, Ngabdi berbagi pengalamannya setelah rutin menggunakan larutan N Level 1. Ia mengaku, sebelum mengenal produk tersebut, setiap kali menanam jagung maupun padi, ia harus menebar dolomit sekitar 700 kilogram per hektare. Biaya pengadaan dan tenaga kerja tentu tidak sedikit. Namun sejak mengenal NLevel1, ia mulai berani mengurangi bahkan meninggalkan penggunaan dolomit.
“Biasanya setiap kali menanam jagung atau padi saya pakai dolomit 700 kg per hektare. Tapi setelah pakai N Level 1, saya berani berhenti. Hasilnya bisa dilihat sendiri, tanah lebih gembur dan tanaman tumbuh optimal,” ujarnya.
Menurut keterangan yang ia terapkan di lapangan, NLevel1 digunakan dengan cara melarutkan terlebih dahulu dalam air. Untuk tahap awal setelah pengolahan lahan, sebelum tanaman ditanam, larutan yang dipakai adalah 50 mililiter NLevel1 dalam 15 liter air. Campuran ini kemudian diaplikasikan ke tanah agar pH kembali normal dan lahan siap ditanami.
Pertanyaan yang kerap muncul di kalangan petani adalah apakah NLevel1 tetap bisa digunakan bila tanaman sudah terlanjur tumbuh? Menurut pengalaman petani Rantau Rasau tersebut, jawabannya bisa. Bahkan, NLevel1 bukan hanya berfungsi menormalkan tanah, tetapi sekaligus menjadi pupuk organik cair yang membantu pertumbuhan tanaman.
“Kalau lahan sudah ada tanamannya, tetap bisa dipakai. Dosisnya disesuaikan dengan umur tanaman,” jelas Ngabdi.
Untuk tanaman berumur 20 hari setelah tanam (HST) ke bawah, ia menggunakan setengah liter NLevel1 yang sudah dilarutkan ke dalam 15 liter air, lalu diberikan dengan cara dikocorkan ke pangkal tanaman. Sedangkan untuk tanaman berumur 30 HST ke atas, dosis dinaikkan menjadi 1 liter per 15 liter air.
Aplikasi dilakukan secara rutin setiap 8 hari sekali. Dengan cara ini, lahan tidak hanya kembali subur, tetapi pupuk kimia yang diberikan juga bisa berfungsi lebih optimal.
Hasil penerapan metode ini cukup menggembirakan. Tanaman yang diberi tambahan NLevel1 terlihat lebih hijau, pertumbuhan seragam, dan tanah tidak cepat mengeras. Kelebihan lain, petani tidak perlu lagi mengangkut dolomit dalam jumlah besar yang biasanya menguras tenaga dan biaya.
“Sekarang lebih praktis. Tinggal buat larutan, kocorkan, selesai. Tanaman tetap sehat dan tanah makin subur. Yang penting rutin dilakukan tiap delapan hari sekali,” tambahnya.
Manfaat lain yang dirasakan petani adalah berkurangnya ketergantungan pada pupuk sintetis. Dengan tanah yang lebih gembur dan pH terjaga, unsur hara dalam pupuk anorganik yang diberikan bisa terserap lebih baik oleh tanaman. Efek berantai ini membuat biaya produksi menurun, sementara hasil panen tidak berkurang bahkan cenderung meningkat.
Kisah petani Rantau Rasau tersebut menjadi bukti nyata bahwa inovasi sederhana bisa membawa dampak besar bagi dunia pertanian. Penggunaan NLevel1 bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga upaya menuju pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Selama ini, penggunaan dolomit dalam jumlah besar memang efektif menurunkan keasaman tanah, tetapi di sisi lain membutuhkan biaya besar dan tenaga tambahan. Dengan adanya alternatif pembenah tanah seperti NLevel1, petani memiliki pilihan yang lebih hemat, praktis, sekaligus mendukung kelestarian lingkungan.
“Bisa dilihat hasilnya, lahan tetap subur dan produksi tidak kalah dengan cara lama. Saya rasa ini jalan baru bagi petani yang ingin lebih efisien dan sehat,” tutupnya.
Dengan pengalaman lapangan ini, NLevel1 berpotensi menjadi salah satu solusi tepat dalam menjaga keberlanjutan pertanian Indonesia. Jika semakin banyak petani berani mencoba, maka bukan tidak mungkin biaya produksi akan semakin ringan, tanah semakin sehat, dan kemandirian petani bisa lebih kuat.(dnl)